Sesungguhnya, praktik korupsi, suap, dan manipulasi merupakan perbuatan yang sangat dilarang ajaran Islam. Lalu mengapa korupsi masih tetap saja merajalela di negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim ini?

Korupsi adalah permainan nurani. Sampai hari ini masih banyak digemari oleh orang-orang yang kehilangan tanggung jawab dan ketulusannya dalam menjalankan sebuah amanah.
Genderang perang akan praktik korupsi yang ditabuh oleh pemerintah dan rakyat Indonesia sepertinya terlihat masih belum membuahkan hasil. Indonesia negara Muslim terbesar di dunia namun masih saja berada pada garis terdepan sebagai negara terkorup nomor wahid di kawasan Asia Pasifik.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia merupakan negeri dengan mayoritas Muslim  terbesar di dunia. Namun perkara yang sangat dilematis tengah dihadapi bangsa ini, kejahatan korupsi subur di segala bidang dan lapisan masyarakat. Apakah ajaran agama ini tidak mampu membendung perilaku umatnya agar meninggalkan perkara yang merusak tatanan sosial?
Pertanyaan tersebut tentu saja bernada skepstis! Kenapa? Karena sangat jelas Islam dengan perilaku korupsi merupakan hal yang sangat bertentangan. Dalam pandangan agama Islam sebagai agama Rahmatan Lil Alamiin beranggapan bahwa di antara pondasi terpenting kehidupan yang aman dan pembangunan tatanan masyarakat yang tentram ialah terjaga dan terlindunginya harta.
Di antara kebijaksanaan dan kasih sayang Allah  kepada para hamba-Nya ialah Dia menetapkan sanksi yang menjerakan bagi setiap pelaku maksiat yang merusak tatanan kehidupan manusia dan merusak keamanan harta mereka. Di dalam Islam tindak kejahatan korupsi dikategorikan sama dengan pencurian. Islam dengan syariatnya dengan tegas dan terang mengharamkan perilaku kejahatan korupsi atau mencuri.
Lembaga survei yang berbasis di Hongkong,  Political & Economic Risk Consultancy (PERC), menobatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara tujuan investasi di kawasan Asia Pasifik. Indeks korupsi yang diberikan Indonesia mencapai 9,07 pada tahun 2010, nyaris mendekati angka 10 sebagai poin negara terkorup. Kondisi ini memang sungguh memalukan.
Betapa tidak?  Skor korupsi yang ditoreh bangsa ini terus meningkat: itu artinya korupsi semakin merajalela. Jika pada 2008, PERC memberi skor korupsi Indonesia sekitar 7,98, maka pada 2009 naik menjadi 8,32. Dan untuk di tahun 2011 mencapai 9,27 sekaligus memperkokoh posisi Indonesia sebagai negara terkorup di Asia Pasifik.
Hasil PERC tersebut bukan dianggap aneh, melainkan hal yang biasa, karena Indonesia memiliki kultur yang aneh pula. Pejabat negara dan para koruptor tidak ada yang jera. Bahkan, orang yang belum memiliki kesempatan untuk korupsi pun bercita-cita bila suatu saat ada peluang-akan melakukan hal itu.
Budaya seperti itu yang menjadikan penangkapan banyak pejabat, politisi, dan pihak swasta oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menimbulkan efek jera. Filosofi yang berkembang di kalangan koruptor adalah ditangkap KPK atau penegak hukum yang lain hanya karena sial.
Fenomena korupsi jika dipandang dari sudut berbeda sama dengan fenomena tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Banyak kenistaan dan penderitaan yang dialami para tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. Namun, minat untuk menjadi TKW tidak berkurang, tapi malah bertambah. Seperti itulah koruptor, semakin merajalela di Indonesia.
Para koruptor berprinsip, kalau toh mereka tertangkap, pikiran di benaknya adalah bagaimana bisa lolos dari jerat hukum. Jika terpaksa belum bisa lolos, setidaknya hukumannya diperingan dan dendanya rendah. Karena itu, mafia hukum tumbuh subur di Indonesia dan pendapatan mereka jauh lebih tinggi daripada gaji resmi penegak hukum.
Perlu diingat bahwa perilaku tindak pidana korupsi adalah perilaku yang kalkulatif. Artinya, tindak tersebut sudah dipikirkan matang-matang sehingga saat tertangkap tidak akan bangkrut.

Korupsi Sempurna
Dengan skor 9,27 dari 10 poin tertinggi, itu bisa dikatakan nilai itu hampir sempurna korupsi di Indonesia. Dan, kesimpulan PERC ini semakin meyakinkan publik bahwa sia-sia saja pemberantasan korupsi dilakukan.
Inpres-inpres tentang pemberantasan korupsi menjadi tidak bermakna karena tidak diimplementasikan di lapangan. Izin-izin pemeriksaan kepala daerah yang mestinya dikeluarkan presiden hingga kini masih banyak yang tidak tahu rimbanya.
Bangsa ini sebaiknya tidak berharap akan berhasil memberantas korupsi apabila kultur yang ada tidak mampu diubah. Berharap agar korupsi bisa diberantas atau jumlahnya ditekan sebenarnya adalah mimpi buruk di siang bolong. Sebab, bangsa ini semakin hari semakin kehilangan karakternya.
Katidaktegasan karakter bangsa Indonesia dalam menghadapi masalah-masalah penting bangsa menjadikan segala masalah diselesaiakan di tingkat permukaan saja. Kasus-kasus besar korupsi menjadi sulit dijamah dengan mudah karena ada upaya-upaya proteksi dari pemilik kekuasaan.
Perang terhadap korupsi yang digembar-gemborkan, seakan tak mampu membuat takut para pejabat. Media massa dipenuhi dengan berita-berita skandal korupsi, suap, dan manipulasi.
Bila hasil survei PERC yang dirilis baru-baru ini dikontekskan dengan realitas Indonesia akhir-akhir ini, sesungguhnya tidak ada yang dilebih-lebihkan. Korupsi begitu menggurita, mulai pemegang kebijakan hingga implementasi di tingkat yang paling bawah.

Substansi Agama
Sesungguhnya, praktik korupsi, suap, dan manipulasi merupakan perbuatan yang sangat dilarang ajaran Islam. Lalu mengapa korupsi masih tetap saja merajalela di negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim ini? Menurut Abdullah, faktor utama yang menyebabkan tingginya  korupsi di Tanah Air adalah kebanyakan umat tak memahami dan mengamalkan substansi agama. Ia berharap para ulama, ustad serta dai bisa menjadi contoh bagi umat dalam pemberantasan korupsi.
Ketua PP Muhammadiyah, Prof Yunahar Ilyas, menegaskan, agar umat terhindar dari perilaku korup, maka harus memahami ajaran Islam tentang harta. ''Yang sangat menentukan adalah cara pandangan seseorang tentang harta,'' tuturnya. Menurut dia, ajaran Islam memang memerintahkan umatnya untuk mencari harta.
Tujuannya, papar Yunahar, untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik untuk sendiri maupun keluarganya. Selain itu, harta dicari sebagai alat beribadah, baik ibadah mahdhah maupun ibadah sosial. Dalam konteks ini, memang tidak ada istilah berhenti mencari harta, karena ibadah sosial terbuka luas seluas-luasnya.
Jika hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup, mencari harta itu ada batasnya. Al Quran sudah memberikan peringatan-peringatan bahwa harta adalah ujian (fitnah), sehingga seseorang harus berhati-hati dengan hartanya. Diberi harta banyak merupakan ujian juga. Begitu juga tidak diberi harta juga ujian.
Harta berpotensi melalaikan orang dari ibadah dan dari mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, dalam ajaran Islam, tibalah peringatan-peringatan dengan pendekatan akhlak dan juga ada pendekatan hukum. Sehingga ditentukan bagaimana hukumnya kalau seseorang mengambil harta orang lain, mencuri, merampok termasuk korupsi.
Sementara itu, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Komaruddin Hidayat, menegaskan, perlu ada tindakan radikal untuk memberantas korupsi. Selama ini, kata dia, peralihan dari Orde Baru ke Reformasi itu masih remang-remang, abu-abu dan tidak ada garis batas yang jelas.
''Sehingga kultur budaya dan pemain lama, itu masih leluasa untuk bergerak. Sementara zaman Orde Baru kan, pemerintah, penguasa dan negara sangat dominan. Hampir-hampir tidak ada kontrol dari masyarakat,'' paparnya.
Menurut dia, sudah saatnya diterapkan pembuktian terbalik untuk mengatasi korupsi yang makin merajalela. Jadi, pejabat-pejabat strategis harus siap diaudit dan membuktikan bahwa harta yang dimilikinya bebas dari korupsi. Korupsi adalah musuh bersama umat Islam.***

http://makassar.tribunnews.com/2011/09/30/korupsi-musuh-besar-umat-islam